INTERNALISASI KONSEP RAHMAH DALAM POSITIVE SCHOOLING

INTERNALISASI KONSEP RAHMAH DALAM POSITIVE SCHOOLING

Sekolah adalah tempat untuk pengembangan kompetensi, kepercayaan diri, hubungan sosial, karakter pribadi dan kemampuan untuk peduli dan berkontribusi pada masyarakat. Sekolah memiliki potensi sebagai sarana pelatihan untuk terjun ke masyarakat karena sekolah merupakan: (a) Tempat siswa menghabiskan sebagian besar waktunya. (b) Lingkungan akademik dan non akademik, yang mempengaruhi siswa dalam pembentukan identitas, perkembangan kognitif dan sosial, hubungan teman sebaya, dan pengembangan kejuruan. (c) Sarana pengembangan pengalaman positif yang secara tidak langsung berkontribusi dalam ketahanan remaja dan perkembangan positif (Gomez, B. J., & Ang, P. M., 2007). Hal ini yang pada tujuan akhirnya bermuara pada pembentukan karakter dan mengarahkan siswa untuk mengembangkan psikososial dalam masyarakat.
Namun kemudian yang terjadi di sekolah adalah kebalikannya. Sekolah dianggap tempat yang tidak menyenangkan sehingga menjadi stressor (Farah Aulia, 2015). Hal yang tidak menyenangkan bisa apa saja, seperti guru yang pilih kasih dalam mengajar yang suka pada siswa perempuan saja atau laki-laki saja (Glock, S., & Klapproth, F., 2017). Kemudian guru yang mempunyai sikap yang membedakan siswa-siswinya, seperti yang diungkapkan dalam penelitian Hong, E., Part, R., & Rowell, L. (2017) bahwa guru ternyata sudah mempunyai penilaian terhadap siswanya sebelum siswa tersebut terlibat dalam pembelajaran di dalam kelas. Inilah diantara penyebab siswa menjadi insecure sehingga bisa menurunkan harga diri, self-efficacy dan optimisme, dan mengurangi gejala kepekaan interpersonal (Sarit Steinmetz & Anat Shoshani, 2013).
Dalam Al-Quran surah Al-Fatihah Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai rabb (pendidik, pemelihara, dan pemilik) yang mempunyai sifat ar-Rahman dan ar-Rahim (Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih). Allah memberikan isyarat bahwa dalam proses pendidikan melalui pengajaran manusia harus selalu didasari kasih sayang. Untuk menemukan isyarat Allah tersebut maka dapat dihubungkan dengan Positive Schooling (C. R. Snyder, et al., 2017) yang menggunakan dasar prinsip dari supportive atmosphere yang dibangun dengan fondasi care, trust and respect, selanjutnya menghadirkan tujuan, perencanaan dan motivasi siswa dalam pembelajaran dan berakhir dengan mewujudkan keterampilan siswa dalam social contribution. Sikap tersebut inilah yang menentukan kualitas seorang guru (C. R. Snyder, et al., 2017).
Menurut Al-Ghazali dalam Abu Muhammad Iqbal, (2015), seorang guru seharusnya mempunyai kepribadian dan sifat kasih sayang (rahmah) karena sifat ini akan menentukan kualitas guru yang akan meningkatkan rasa percaya diri dan rasa tentram (secure) pada siswa dan juga bisa mengarahkan siswa memandang positif diri dan lingkungannya. Hal ini akan menciptakan suasana menyenangkan dalam penguasaan materi dan mendorong siswa untuk sukses sehingga menimbulkan motivasi belajar dan berprestasi (Clonan, S. M.,et al., 2004).

Ibnu Khaldun menganjurkan agar dalam pendidikan menggunakan prinsip al-qurb wa al-munayah yang diterjemahkan oleh Franz Rosenthal menjadi kindly and gently (kasih sayang dan lemah lembut) karena dalam pendidikan, pendidik tidak memperlakukan subyek didik (siswa) secara kasar. Paksaan terhadap fisik dalam upaya pendidikan sangat membahayakan terutama bagi anak-anak yang masih kecil (Warul Walidin, 2004., Abu Muhammad Iqbal, 2015). Sikap keras pendidik membuat anak tidak sanggup mengeluarkan pendapat, kurang tunduk kepada orang yang berkuasa, kurang mempunyai inisiatif yang spontanitas, dan tidak percaya pada dirinya sendiri. Pandangan Ibnu Khaldun untuk tidak menggunakan kekerasan dalam pendidikan berdasarkan persepsinya tentang pendidikan bahwa pendidikan lebih mengarahkan tugasnya pada pembinaan atau pembentukan sikap dan kepribadian manusia.
Pendidikan yang dijiwai kasih sayang dari pendidik akan menimbulkan rasa aman pada diri murid. Kenyamanan ini akan membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, pikiran menjadi terbuka, perasaan menjadi jernih dan tajam (Muhammad Anis, 2010). Seorang guru/pendidik adalah seorang yang menyampaikan suatu ilmu pengetahuan dengan cara yang baik, positif, kreatif dan cerdas. Al-Ghazali menambahkan kode etik seorang pendidik/guru yang salah satunya adalah bersikap penyantun dan penyayang, bersifat lemah lembut dalam menghadapi murid dan meninggalkan sifat yang menakutkan para murid. Bahkan guru harus mampu bersikap seperti orang tua dan anaknya. Seperti bunyi hadis sebagai berikut: “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama seorang ayah bagi anaknya.” ( HR. Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah) (Abu Muhammad Iqbal, 2015).
Dalam buku Psikologi Positif, Snyder (2011) menyatakan bahwa guru yang berkualitas adalah guru yang memiliki rasa peduli, perhatian dan menghormati atau menghargai muridnya. Guru harus mampu berperan aktif dalam merespon dan menyediakan emosi positif secara konsisten. Hal ini bisa menimbulkan rasa nyaman bagi murid. Kondisi yang kondusif ini dapat mengembangkan daya eksplorasi murid sehingga murid mampu menemukan jalan dalam pencapaian tujuan akademik dan masa depannya. Snyder juga menyebutkan bahwa guru yang baik tahu kapan harus mengulurkan tangan dan membantu siswa yang menghadapi krisis dan membangun kepercayaan di kelas. Hubungan ini menjadi penting karena untuk mencegah murid dari tindakan agresif dan merugikan orang lain serta untuk mendorong kemandirian dan kepercayaan diri.
Seperti halnya kualitas guru tersebut, sifat rahmah sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar yang membutuhkan care, trust dan respect for diversity. Sebagai guru selain harus memiliki teaching goal dan planning, guru juga harus mampu memotivasi siswa untuk berprestasi dan mempunyai karakter yang baik. Ini hanya bisa didapatkan dari seorang guru yang mempunyai sifat rahmah. Sifat ini menjadikan seorang guru berhati lembut dan bertutur kata penuh kasih sayang dan santun.
Salah satu komponen Positive Schooling yaitu Hope, guru mampu membesarkan hati anak untuk membangun rasa percaya diri, membangun karakter yang baik dan menanamkan rasa “aku bisa” pada anak. Hal yang paling penting dari seorang guru adalah sifat care. Sifat ini merupakan salah satu bagian penting dari rahmah dimana sifat ini mampu menyediakan emosi positif pada anak didik. Semua ini untuk menghadirkan kesdaran pada siswa bahwa mereka adalah bagian dari skema masyarakat yang lebih besar di mana mereka berbagi apa yang mereka miliki dan belajar dengan/dari orang lain. (Dr. Kana Safrina Rouzi, M.Si)