Corona: Sampai kapan!?

Corona: Sampai kapan!?

Sebuah Refleksi diri

 

Tidak dapat dipungkiri wabah Corona telah menjangkit hampir seluruh negara di dunia, virus ini membuat beberapa negara melakukan langkah preventif dengan berbagai cara, antara lain: Social distancing, slowdown, lockdown, herd immunity¸ (bahkan ada negara yang tidak peduli dengan Corona). Upaya ini dilakukan guna membatasi ruang virus tertular akibat interaksi sosial dan menguatkan imun masyarakat.

Kebijakan tersebut banyak menjadi sorotan, karena menyebabkan aktivitas ekonomi yang menurun, bahkan tak ayal kita “seperti” disuruh untuk memilih antara Kesehatan ataupun Ekonomi yang mana sejatinya bukan pilihan. Kebijakan “Gas Rem” dari Presiden Jokowi yang ingin menyeimbangkan antara penyebaran COVID dan laju ekonomi menjadi salah satu kebijakan yang diambil dan ujungnya pada kwartal ketiga menjadi cerminan bahwa “rem” yang diinjak terlalu dalam sedari awal yang mana kontraksi 3.49 menjadi tanda Indonesia resmi masuk dalam resesi.

Belum lagi santer terdengar isu-isu sosial-politik yang semakin memanas seperti pengesahan Omnibus law yang kontroversi, PILKADA serentak dan kepulangan imam besar Front Pembela Islam FPI yang memungkinkan adanya klaster baru penyebaran COVID-19.

Disisi Pendidikan juga terkena dampaknya. Tenaga Pendidik dipaksa untuk merubah segala bentuk transfer knowledge yang sudah terbiasa dilakukan. Pendidik saat ini ditempatkan pada posisi unik, mereka dipaksa utk melakukan evolusi mengajar dengan menjadikan daring sebagai bahan transformasinya

Sebagai masyarakat kita dituntut untuk bijak dalam melihat fenomena ini. Pertanyaannya bisakah kita bijak dalam menyikapinya ketika kantong-kantong pendapatan kita semakin kering? Bisakah kita berpikir lebih jernih ketika masa depan yang tidak kita ketahui sampai kapan akan berakhir dan kita akan menjalani kehidupan normal? Bisakah kita menerima ketika kita hendak masuk kedalam pusat-pusat kerumunan masa hampir seperti “barang belanjaan” di scan untuk melihat suhu badan?

Jawaban itu tentunya hanya bisa dijawab oleh kita sendiri

Mungkin tulisan ini terlihat terlalu pesimis dimata pembaca, tapi ingatlah tulisan ini hanya sebagai bentuk metafora agar kita bisa melakukan refleksi dan bangkit sebagai bangsa yang utuh di masa yang akan datang.