Mu’inan Rafi’, S.H.I., M.S.I.
Sebagaimana kecerdasan dan kejeniusan seseorang yang keberadaannya harus diciptakan/diupayakan bukan dilahirkan, begitu juga berfikir produktif, kreatif dan inovatif. Maksud berfikir produktif di sini adalah bagaimana seseorang dalam menggunakan potensi sumberdaya yang dimilikinya untuk terus menghasilkan karya-karya terbaik agar tak tergerus oleh majunya zaman dan canggihnya teknologi. Ghirah/semangat menghasilkan karya tentunya harus terus dibarengi dengan kemampuan untuk selalu kreatif dan inovatif. Dengan kata lain, kreatif adalah kemampuan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Sedangkan inovatif adalah memperbaiki kualitas dari sesuatu yang sudah ada agar menjadi lebih baik. Tegasnya inovatif merupakan buah dari kreatif.
Kreatif/kreatifitas memang sangatlah penting dalam kehidupan manusia, tanpa adanya kreatifitas kita akan larut dan tergilas roda perkembangan zaman. Kita tidak akan pernah menjadi pemain tapi terus menjadi penonton. Kita tidak akan pernah menjadi subyek, melainkan selalu di posisikan sebagai obyek penderita. Tanpa kreatifitas kita tidak akan mampu menghadapi perubahan yang semakin bergerak cepat. Perusahaan-perusahaan besar yang mampu bertahan biasanya memiliki tradisi untuk mengembangkan budaya kreatif, kemudian mampu menghasilkan produk-produk yang inovatif. Dari tradisi mengembangkan budaya kreatif akan mampu menghasilkan produk-produk unggulan yang memiliki daya saing sehingga konsumen berkompetisi untuk mendapatkan produk-produk tersebut.
Sebagai 33 program studi ekonomi terbaik versi BAN-PT Universitas dan Jurusan se Indonesia dengan akreditasi B, Universitas Alma Ata khususnya Program Studi Ekonomi Syari’ah mengajak para calon ekonom/sarjana di bidang ekonomi syari’ah untuk selalu membaca dan mengikuti tantangan zaman salah satunya melalui pengelolaan dan pemberdayaan dana zakat secara produktif, kreatif dan inovatif. Dipilihnya obyek/sasaran pendayagunaan zakat—di samping sebagai program studi ekonomi syari’ah—juga mengingat di tahun 2019 saja (menurut outlook zakat yang dikeluarkan oleh PUZKAS BAZNAS Pusat), potensi zakat di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 233,6 T. Jumlah ini sungguh fantastis. Akan tetapi capain yang besar itu jika tidak didayagunakan secara maksimal produktif dan inovatif—yakni hanya prioritas pada PSP (pangan, sandang dan papan) pangan asal kenyang, sandang asal tertutupi dan papan asal bisa untuk berlindung dan beristirahat—maka bukan mustahil kemiskinan di Indonesia terus mengalami kemajuan (tanpa menyebut meningkat tajam). Dengan kata lain dana zakat tersebut didayagunakan (dikelola), dikembangkan sedemikian rupa sehingga bisa mendatangkan manfaat (hasil) yang akan digunakan dalam memenuhi kebutuhan orang yang tidak mampu (terutama fakir miskin) tersebut dalam jangka panjang. Atau bahasa sederhananya dengan meminjam istilah yang disampaikan oleh Ibra>him al-Baju>ri, dalam H{asyiyah asy-Syai<<kh Ibra>hi<>m al-Baju>ri ‘ala> Syarh} al-‘Alla>mah Ibn Qa>sim al-Guzzi<, “Orang fakir dan miskin diberi harta zakat yang cukup untuk biaya selama hidupnya menurut ukuran umum yang wajar. Atau dengan harta zakat itu fakir miskin dapat membeli tanah/lahan untuk kemudian digarapnya. Pemerintah juga dapat membelikan tanah/lahan bagi fakir miskin dengan harta zakat, seperti halnya kepada tentara yang berperang (sabi<lillah). Demikian tadi apabila fakir dan miskin tidak mempunyai keterampilan produktif dan inovatif. Adapun bagi fakir dan miskin yang mempunyai keterampilan (kreatif) atau kemampuan berusaha (produktif), maka mereka diberi zakat yang dapat dipergunakan untuk membeli alat-alatnya. Dan bagi yang mempunyai keterampilan untuk berdagang, maka mereka diberi zakat yang dapat dipergunakan untuk modal dagang, sehingga keuntungannya dapat mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang wajar”.
Ide dan gagasan cemerlang ratusan tahun silam dari Ibrahim al-Bajuri di atas tentu makin sangat relevan saat wabah pandemi Covid-19 melanda di beberapa belahan dunia tak terkecuali Indonesia. Di mana mau tidak mau mendorong para pekerja tak terkecuali para ekonom untuk terus berfikir produktif, kreatif dan inovatif bahkan inspiratif. Sebagai calon akademisi, tentunya ide kreatif harus selalu ada agar tidak terus terseret pada arus yang masif, dengan selalu mencari solusi sebuah inovasi baru dan kreatif untuk menciptakan lapangan/peluang kerja supaya bisa adaptasi dengan situasi baru pasca pandemi. Semua itu jawabannya, mari bergabung bersama di kampus merdeka Universitas Alma Ata, pada Program Studi Ekonomi Syari’ah. [m.uin79@almaata.ac.id]