Pendahuluan
Pertengahan Juli 2020 lalu, dunia pendidikan dihebohkan dengan simpang siur berita tentang dihapusnya pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di madrasah. Informasi tersebut didasarkan pada kemunculan Keputusan Menteri Agama (KMA) 184 tahun 2019 tentang pedoman implementasi kurikulum pada madrasah yang menggantikan/menghapus KMA 117 tahun 2014 tentang kurikulum 2013 di madrasah. Narasi yang terbangun sehingga menjadikan dunia madrasah heboh adalah bahwa dengan adanya regulasi baru tentang implementasi kurikulum di madrasah, maka mata pelajaran PAI dan Bahasa Arab tidak berlaku lagi. Sejatinya justru Kementerian Agama sebagai Induk dari madrasah ingin meningkatkan mutu dan daya saing madrasah melalui berbagai skema dan skema tersebut harus diperkuat dengan payung hukum yang kuat salah satunya melalui perubahan KMA tersebut.
KMA 184 tahun 2019 ini tidak berdiri sendiri, tetapi dibarengi dengan KMA 183 tahun 2019 tentang kurikulum PAI dan Bahasa Arab dan regulasi ini tentu menghapus peraturan sebelumnya, yakni KMA 165 tahun 2013 tentang kurikulum 2013 di madrasah. Melalui KMA tersebut, Kemenag mendorong madrasah untuk melakukan beberapa langkah inovasi dan penguatan siswa madrasah pada kontek penguatan moderasi beragama, pendidikan karakter, pendidikan anti korupsi, litersi dan penguatan akhlak siswa madrasah.
Moderasi agama menjadi salah satu spektrum penting yang ingin diteguhkan pada diri siswa madrasah, agar tercipta ouput madrasah yang memiliki sikap dan perilaku toleran, mengakui atas keberadaan pihak lain, perhormatan atas pendapat dan tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Moderasi beragama sebagai output yang sangat dibutuhkan pada era melinial ini yang justru masih banyak muncul faham radikal sebagai golongan yang bertentangan dengan nilai atau ajaran moderasi itu sendiri. Output manusia bertaqwa dan berilmu merupakan agenda penting guna mencapai visi madrasah tahun 2030 sebagai madrasah unggul dan kompetitif.
Moderasi Beragama
Moderasi beragama lebih dimaknai sebagai cara pandang agama seseorang secara moderat, yakni paradigma beragama yang tidak ekstrem baik kiri atau kanan. Ini berarti tidak membolehkan terlalu kaku dalam memahami ajaran agama, tidak boleh terlalu bebas penggunaan akal sehingga menempatkan akal sebagai satu-satunya tolak ukur kebenaran dan juga tidak boleh memahami agama dengan cara membuang jauh-jauh penggunaan akal (tektual).
Makna moderasi beragama lebih menekankan kepada perlunya beragama dengan sikap yang tawassuth. Sikap ini tidak hanya tergambarkan pada pola pikir seseorang, tetapi juga harus nampak pada perilaku yang ditunjukkan dengan habituasi seseorang dalam membangun relasi dengan orang lain pada komunitasnya. Kondisi ini berkonsekwensi pada moderasi bisa menjadi fleksibel sesuai dengan konteks ruang dan waktu yang mengiringinya sepanjang sesuai dengan koridor konsep moderasi itu sendiri. Misalnya sifat sikap moderasi pada konteks muslim sebagai minoritas tentu sangat berbeda dibandingkan dengan muslim sebagai mayoritas pada suatu negara.
Moderasi beragama menjadi suatu sikap yang sangat perlu ditanamkan ke siswa madrasah, mengingat ekstremisme, radikalisme dan ujuran kebencian merupakan problem bangsa Indonesia saat ini. Madrasah sebagai lembaga pendidikan umum bercirikhas Islam perlu menjadi pioner dalam menumbuhkembangkan sikap moderat ini, bukan sebaliliknya justru madrasah sebagai penyemai dari cara pandang beragama yang ekstrim dan radikal.
Meneguhkan Moderasi beragama melalui KMA 184 tahun 2019
Sebagaimana tertulis di atas, bahwa KMA 184 tahun 2019 bukan merupakan regulasi yang mendadak muncul dipermukaan, tetapi regulasi ini adalah hasil dari pemikiran mendalam insan pendidikan guna mendorong madrasah untuk berinovasi terhadap maanajemen lembaganya sehingga mempunyai daya saing dibanding lembaga pendidikan lain. Peraturan ini merupakan suatu respon Kemenag atas realitas sosial masyarakat yang ditenggarai masih banyaknnya muncul faham radikal dan ekstrim, dimana sikap seperti ini akan memudarkan bangunan kerukunan umat beragama.
Melalui KMA baru ini, madrasah diberikan ruang untuk berinovasi dalam peneguhan moderasi beragama dengan berbagai cara dari tingkat paling dasar (RA, MI, MTs) hingga menengah (MA). Beberapa point penting dari KMA terkait peneguhan moderasi beragama dapat dilakukan dengan cara; setiap guru mata pelajaran wajib menanamkan nilai moderasi beragama kepada siswa, penananam nilai ini bersifat hidden curriculum yang terwujud pada bentuk pembiasaan, dan pemberdayaan dalam harian siswa, implementasi penanaman nilai tersebut tidak harus tercantum dalam administarsi madrasah.
Mendasar dari regulasi ini, maka sebenarnya madrasah mempunyai tugas yang tidak ringan untuk mewujudkan visi luhur tesebut. Madrasah dituntut mempunyai manajemen andal dengan dukungan guru dan tenaga kependidikan yang memiliki sikap dan perilaku moderat. Tentu akan menjadi paradok, peneguhan moderasi agama kepada siswa dilakukan oleh guru yang berparadigma radikal dan ekstrim. Pada sisi lain, madrasah juga harus bisa memanfaatkan modal sosial madrasah guna penciptaan habituasi nilai moderasi pada harian kehidupan siswa. Modal sosial berupa networking dan kepercayaan dari masyarakat harus bisa menjadi jembatan siswa madrasah untuk mengimplementasikan sikap moderat pada ruang publik. Siswa harus selalu diteguhkan melalui pemahaman mendalam bahwa sikap moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama dan cenderung kepada kebebasan, tidak memiliki militansi, tidak serius dan atau tidak sungguh-sungguh dalam menanamkan ajaran agama. Justru dengan sikap dan perilaku moderat ini sebuah ajaran agama akan menemukan makna sebenarnya, dan pada akhirnya ajaran Islam bisa terjewantahkan bagi semau aspek kehidupan. Jika ide ini berhasil dilakukan secara kolektif oleh madrasah maka menjadi terbuka lebar madrasah menjadi preferensi masyarakat untuk pendidikan putra-putrinya,, semoga……..